Refleksi Kearifan dan Pengetahuan lokal “Pasang ri Kajang” Upaya Hidup Selaras dengan Alam 



Saparuddin Sanusi
Mahasiswa Sastra Inggris Fakultas Sastra Unhas
Pe­ngetahuan lokal merupakan istilah yang problematik (Nygren:1999). Pengetahuan lokal dianggap tidak ilmiah, sehingga pengetahuan lokal tersebut dibedakan dengan pengetahuan ilmiah yang dikenalkan oleh dunia barat. Titik temu antara pengetahuan local yang tidak ilmiah dan yang ilmiah tersebut keduanya berada pada bagaimana cara memahami dunia mereka sendiri. Penge­tahuan local dapat ditelusuri dalam bentuk pragmatis maupun supranatural. Penge­tahuan dalam bentuk pragmatis menyangkut pengetahuan tentang kaitan pemanfaatan sumberdaya alam, dan dalam ben­tuk supranatural, ketika pengetahuan itu menjadi seolah-olah tidak ilmiah (un­reason). Untuk yang pragmatis ini, pengetahuannya berubah, karena berhubungan dengan pihak lain dari wilayahnya. Pengetahuan lokal selalu dianggap sebagai lawan dari pengetahuan barat yang bersifat ilmiah, universal, memiliki metodologi dan dapat diverifikasi. Pengetahuan lokal dianggap bersifat lokal, terbatas dan tidak memiliki metodologi dan sebagainya. Pembedaan ini secara tidak sadar memelihara perbedaan antara pengetahuan ilmiah negara barat dan pengetahuan lokal (negara timur), yang pada akhirnya memelihara pandangan kolonialisme antara barat dan timur.
Menurut Wietoler (2007), masyarakat dengan pengetahuan dan kearifan lokal telah ada di dalam kehidupan masyarakat semenjak zaman dahulu mulai dari zaman pra-sejarah sam-pai sekarang ini, kearifan tersebut merupa­kan perilaku positif manusia dalam berhu-bungan dengan alam dan lingkungan seki-tarnya yang dapat bersumber dari nilai-nilai agama, adat istiadat, petuah nenek moyang atau budaya setempat yang terbangun secara alamiah dalam suatu komunitas masyarakat untuk beradaptasi dengan lingkungan di sekitarnya, perilaku ini berkembang menjadi suatu kebudayaan di suatu daerah dan akan berkembang secara turun-temurun, secara umum, bu­daya lokal atau budaya daerah dimaknai sebagai budaya yang berkembang di suatu daerah, yang unsur-unsurnya adalah bu­daya suku-suku bangsa yang tinggal di daerah itu.
Manusia harus memperlakukan lingkungan di sekitarnya sebagai tempat tinggal yang telah memberikan segalanya untuk kita, sehingga ada tanggung jawab yang besar untuk menjaga dan mengelolanya, pengembangan teknologi sederhana di dalam mengelola sumberdayanya akan selalu dipertahankan untuk menjaga tradisi, memberi motivasi dan menjaga kepercayaan masyarakat dalam mengelola wilayahnya sehingga peran masyarakat sebagai kunci utama dalam menjaga keseimbangan sumberdaya alam yang ada di sekitarnya. Kearifan lokal harus menjadi yang terdepan dalam menjalankan pro­gram-program pengembangan wilayah di kawasan kars untuk mendorong masyarakat sebagai pelaku utama dalam usaha mengembangkan sumberdaya alamnya.
Kalau kita menengok ke belakang saat kita belum punya teknologi, bagaimana cara bertahan hidup bangsa Indonesia pada zaman dahulu dalam menghadapi bencana? ada berapa contoh kearifan lokal yang telah menyelamatkan banyak orang akan tetapi jarang diketahui orang. Kearifan lokal ini berkembang karena selama ratusan tahun secara geologi, klimatologis, geografi dan kondisi sosial demografi Indonesia rawan bencana gempa, tsunami, gunung api, longsor, rawan banjir, angin ribut, keke-ringan, kebakaran hutan, konflik sosial, penyakit menular dan lain sebagainya. Dalam perkembangannya kearifan lokal mulai terpojokkan/terpinggirkan dikarena-kan datangnya ilmu pengetahuan dari barat. Hal ini terjadi karena kearifan lokal tidak punya bukti ilmiah yang bisa diterima secara rasional.
Dalam kaitan itu, pada masyarakat adat ini dikenal adanya pembagian kawasan, yaitu pertama, kawasan untuk budidaya untuk dinikmati bersama; kedua, kawasan hutan kemasyarakatan yang setiap warga diperbolehkan menebang pohon, tetapi harus terlebih dahulu menanam po­hon pengganti; dan ketiga, kawasan hutan adat (borong karamaq) yang sama sekali tidak boleh dirambah (Basri Andang, 2006). Pelanggaran terhadap ketentuan adat ini akan dijatuhi sanksi adat, dalam bentuk pangkal cambuk atau denda uang dalam jumlah tertentu, sesuai dengan ada’ tanayya, sebuah sistem peradilan adat Kajang. Mereka juga memiliki lembaga adat yang disebut dengan tau limayya (organisasi yang beranggotakan lima orang), dipimpin oleh seseorang yang bergelar ammatowa, yang tugas utamanya mengatur penebangan pohon, pengambilan rotan, dan pemanenan lebah madu di hutan adat, serta penangkapan udang.
Kearifan masyarakat adat Kajang dalam mengelola sumber daya alamnya memang diartikulasikan lewat media-media tradisional seperti mitos, ritual, dan pesan-pesan leluhur, tetapi sesungguhnya me-ngandung pengetahuan ekologis, yaitu sis­tem pengetahuan mengenai fungsi hutan sebagai penyeimbang ekosistem. Bahkan uraian di atas memperlihatkan empat elemen kearifan lingkungan, yaitu sistem ni-lai, teknologi, dan lembaga adat. Tidak hanya pada masyarakat adat Kajang, di Sulawesi Selatan terdapat sejumlah masya­rakat lokal yang memiliki kearifan lingku­ngan, seperti lontaraq (kitab) Sawitto yang menyimpan pengetahuan tentang cara me-motong pohon untuk tiang rumah, dan per-lunya mengganti pohon yang ditebang de­ngan pohon baru; peran lembaga adat uwaq atau uwattaq pada masyarakat Towani Tolotang di Kabupaten Sidenreng Rappang dalam mengontrol pemanfaatan sumber da­ya alam; peran ritual dan aluk pada orang Toraja yang berkaitan dengan tumbuh-tumbuhan dan binatang; upacara macceraq tasiq (membersihkan laut) yang pernah dipraktikkan oleh orang Luwu di masa lalu; dan lain-lain.
Dalam kaitan dengan upaya konservasi atau pengembangan sistem pengelolaan lingkungan yang berkelan-jutan, bentuk-bentuk kearifan lingkungan sebagaimana dikemukakan ini menjadi penting dan dapat disinergikan dengan sis­tem pengetahuan modern. Hal ini juga telah ditegaskan dalam UU Nomor 23 tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup bahwa aspek perilaku manusia merupakan bagian yang integral dalam pengelolaan lingkungan hidup. Contoh konservasi yang menarik dikemukakan adalah inisiatif masyarakat dalam penghijauan bakau di Tongke-tongke, pesisir Timur Kabupaten Sinjai pada paruh awal tahun 1990-an (Robinson & Paeni, 2005). Penanaman bakau ini dimaksudkan untuk melindungi kampung dan tambak ma­syarakat setempat dari abrasi. Mereka membuat aturan penebangan pohon yang dilakukan dalam siklus tujuh tahunan. Usaha ini melahirkan dampak ekonomis, di mana penduduk dapat memperoleh tambahan pendapatan ekonomi keluarga de­ngan mengumpulkan akar-akar bakau yang sudah mati untuk kebutuhan kayu bakar rumah tangga. Namun, belakangan usaha ini melahirkan konflik yang melibatkan masyarakat menyangkut status kepemilikan antar Dinas Kehutanan Kabupaten Sinjai yang memiliki otoritas untuk mengatur penebangan, dan Dinas Perikanan yang memiliki wewenang menebang bakau untuk dijadikan tambak.

Proses pengelolaan lingkungan ada baiknya dilakukan dengan lebih meman-dang situasi dan kondisi lokal agar pende-katan pengelolaannya dapat disesuaikan dengan kondisi lokal daerah yang akan dikelola. Pandangan ini tampaknya relevan untuk dilaksanakan di Indonesia dengan cara memperhatikan kondisi masyarakat dan kebudayaan serta unsur-unsur fisik masing-masing wilayah yang mungkin memiliki perbedaan disamping kesamaan. Dengan demikian, strategi pengelolaan pada masing-masing wilayah akan berva-riasi sesuai dengan situasi setempat. Yangperlu diperhatikan adalah nilai-nilai dan norma-norma yang dianut oleh suatu masyarakat yang merupakan kearifan masyarakat dalam pengelolaan sumberdaya alam dan lingkungan.
Melalui pasang, masyarakat Ammatoa menghayati bahwa keberadaan mereka merupakan komponen dari suatu sistem yang saling terkait secara sistemis; Turiek Akrakna (Tuhan), Pasang, Ammatoa (leluhur pertama), dan tanah yang telah diberikan oleh Turiek Akrakna kepada leluhur mereka. Merawat hutan, bagi masyarakat Kajang merupakan bagian dari ajaran pasang, karena hutan merupakan bagian dari tanah yang diberikan oleh Turiek Akrakna kepada leluhur Suku Kajang. Mereka meyakini bahwa di dalam hutan terdapat kekuatan gaib yang dapat menyejahterakan dan sekaligus mendatangkan bencana ketika tidak dijaga kelestariannya. Kekuatan itu berasal dari arwah leluhur masyarakat Kajang yang senantiasa menjaga kelestarian hutan agar terbebas dari niat-niat jahat manusia (Aziz, 2008). Jika ada orang yang berani merusak kawasan hutan, misalnya menebang pohon dan membunuh hewan yang ada di dalamnya, maka arwah para leluhur tersebut akan menurunkan kutukan. Kutukan itu dapat berupa penyakit yang diderita oleh orang yang bersangkutan, atau juga dapat mengakibatkan berhentinya air yang mengalir di lingkungan Tanatoa Kajang. Tentang hal ini, sebuah pasang menjelaskan:
Naparanakkang juku
Napaloliko raung kaju
Nahambangiko allo
Nabatuiko Ere Bosi
Napalolo’rang Ere Tua
Nakajariangko Tinanang
Artinya:
Ikan bersibak
Pohon-pohon bersemi,
Matahari bersinar,
Hujan turun,
Air Tuak menetes,
Segala tanaman menjadi (Adhan, 2005: 262).

Pasang di atas merupakan gambaran bagaimana masyarakat Kajang menghormati lingkungannya dengan cara menjaga hutan agar tetap lestari. Bagi orang Kajang, tetap terjaganya kelestarian hutan juga merupakan petanda bahwa Ammatoa yang terpilih diterima oleh Turiek Akrakna dan alam. Ammatoa dianggap telah berhasil mengimplementasikan ajaran-jaran pasang sebagaimana dititahkan oleh Turiek Akrakna. Terlepas dari benar-salahnya ajaran yang diyakini masyarakat Kajang, yang pasti konstruksi mereka tentang hutan yang bersifat sakral tersebut tidak dapat disangkal telah berperan besar dalam menjaga tetap lestarinya kawasan hutan mereka.
Berbicara tentang kearifan ekologis yang dipraktekkan oleh masyarakat Kajang, kita tidak dapat melepaskannya dari sebuah prinsip hidup yang disebut tallase kamase-mase, bagian dari pasang yang secara eksplisit memerintahkan masyarakat Kajang untuk hidup secara sederhana dan bersahaja. Secara harfiah, tallase kamase-mase berarti hidup memelas, hidup apa adanya. Memelas, dalam arti bahwa tujuan hidup warga masyarakat Kajang menurut pasang adalah semata-mata mengabdi kepada Turek Akrakna. Prinsip tallase kamase-mase, berarti tidak mempunyai keinginan yang berlebih dalam kehidupan sehari-hari, baik untuk makan, maupun dalam kebutuhan pakaiannya. Dengan cara yang demikian, maka keinginan mendapatkan hasil berlebihan dari dalam hutan dapat dihindari, setidak-tidaknya dapat ditekan seminimal mungkin, sehingga hutan tidak terganggu kelestariannya (Salle, 2000).
Hidup sederhana bagi masyarakat Kajang adalah semacam ideologi yang berfungsi sebagai pemandu dan rujukan nilai dalam menjalankan kehidupan sehari-hari. Secara lebih jelas tallase kamase-mase ini tercermin dalam pasang sebagai berikut:
1.      Ammentengko nu kamase-mase, accidongko nu kamase-mase, a’dakkako nu kamase-mase, a’meako nu kamase-mase artinya; berdiri engkau sederhana, duduk engkau sederhana, melangkah engkau sederhana, dan berbicara engkau sederhana.
2.       Anre kalumannyang kalupepeang, rie kamase-masea, angnganre na rie, care-care na rie, pammalli juku na rie, koko na rie, bola situju-tuju. Artinya; Kekayaan itu tidak kekal, yang ada hanya kesederhanaan, makan secukupnya, pakaian secukupnya, membeli ikan secukupnya, kebun secukupnya, rumah seadanya (Restu dan Sinohadji, 2008).
3.      Jagai lino lollong bonena, kammayatompa langika, rupa taua siagang boronga. Artinya; Peliharalah dunia beserta isinya, demikian pula langit, manusia dan hutan.
Pasang ini mengajarkan nilai kebersahajaan bagi seluruh warga masyarakat Kajang, tak terkecuali Ammatoa, pemimpin tertinggi adat Kajang. Hal ini dapat dipandang sebagai filosofi hidup mereka yang menempatkan langit, dunia, manusia dan hutan, sebagai satu kesatuan yang tak terpisahkan dalam suatu ekosistem yang harus dijaga keseimbangannya. Manusia hanyalah salah satu komponen dari makro kosmos yang selalu tergantung dengan komponen lainnya. Untuk itu, dalam berinteraksi dengan komponen makro kosmos lainnya, manusia tidak boleh bertindak sewenang-wenang karena akan merusak keseimbangan yang telah tertata secara alami (Salle, 2000).
Masyarakat adat Kajang sangat konsisten memegang teguh prinsip tallase kamase-mase ini. Hal ini dapat dilihat dari cara mereka mengimplementasikannya dalam praktek hidup sehari-hari sebagai berikut:
  1. Bentuk rumah yang seragam, seragam bahannya, seragam besarnya, dan sedapat mungkin seragam arah bangunannya. Keseragaman itu bermaksud menghindari saling iri di kalangan mereka, yang dapat berakibat pada keinginan memperoleh hasil lebih banyak dengan cara merusak hutan.
  2. Larangan membangun rumah dengan bahan bakunya batu-bata. Menurut pasang, hal ini adalah pantangan, karena hanya orang mati yang telah berada di dalam liang lahat yang diapit oleh tanah. Rumah yang bahan bakunya berasal dari batu-bata, meskipun  penghuninya masih hidup namun secara prinsip mereka dianggap sudah mati, karena sudah dikelilingi oleh tanah. Apabila diperhatikan hal tersebut lebih jauh, maka sebenarnya pantangan yang demikian bersangkut-paut dengan pelestarian hutan. Bukankah untuk membuat batu-bata, diperlukan bahan bakar kayu, karena proses pembakaran batu-bata memerlukan kayu bakar yang cukup banyak. Dengan pantangan itu sebenarnya memberikan perlindungan pada bahan bakar kayu yang sumber utamanya berasal dari hutan.
  3. Memakai pakaian yang berwarna hitam. Warna hitam untuk pakaian (baju, sarung)  adalah wujud kesamaan dalam segala hal, termasuk kesamaan dalam kesederhanaan. Menurut pasang, tidak ada warna hitam yang lebih baik antara yang satu dengan yang lainnya. Semua hitam adalah sama. Warna hitam untuk pakaian (baju dan sarung) menandakan adanya kesamaan derajat bagi setiap orang di depan Turek Akrakna. Kesamaan bukan hanya dalam wujud lahir, akan tetapi juga dalam menyikapi keadaan lingkungan, utamanya hutan mereka, sehingga dengan kesederhanaan yang demikian, tidak memungkinkan memikirkan memperoleh sesuatu yang berlebih dari dalam hutan mereka. Dengan demikian hutan akan tetap terjaga kelestariannya (Salle, 2000).
Untuk memenuhi kehidupan sehari-hari dalam kaitannya dengan pemanfaatan sumber daya alam di sekitar mereka, masyarakat adat Kajang dengan demikian bukanlah masyarakat yang mengejar kekayaan material, namun mengejar kehidupan abadi di akhirat. Karena itu, bagi mereka, tanah bukan untuk dieksploitasi demi materi, melainkan sekedar untuk memenuhi kebutuhan hidup secukupnya. Dari penjelasan tersebut, tallase kamasa-mase juga merupakan representasi dari tiga prinsip utama. Pertama, perbuatan manusia di dunia akan mempengaruhi kehidupannya di akhirat. Jika manusia berbuat baik di dunia, maka ia akan menuai kebaikan pula kelak di akhirat. Sebaliknya, jika ia berbuat kejahatan di dunia, maka kelak di akhirat ia akan mendapat celaka. Kedua, setiap orang harus mengerahkan unsur dirinya, jasmani maupun rohani, kepada nasihat, petuah, dan petunjuk Yang Mahakuasa untuk mendapatkan kedudukan yang baik di sisi Tuhan. Dan ketiga, paham kehidupan materialistis di dunia dapat berakibat buruk dalam kehidupan manusia (Suriani, 2006). Dengan prinsip tallase kamasa-mase ini, masyarakat adat Kajang diharapkan mampu mengekang hawa nafsunya, selalu bersikap jujur, tegas, sabar, rendah hati, tidak melakukan perbuatan yang merugikan orang lain, dan tidak memuja materi secara berlebihan.
Selain ajaran tallase kamasa-mase, masyarakat adat Kajang juga memiliki mekanisme lain untuk menjaga kelestarian hutan mereka, yaitu dengan cara menetapkan kawasan hutan menjadi tiga bagian di mana setiap bagian memiliki fungsi dan makna yang berbeda bagi masyarakat adat. Ketetapan ini langsung dibuat oleh Ammatoa. Secara lebih jelas Al Rawali (2008) menyebutkan tiga kawasan hutan tersebut sebagai berikut:
Kawasan yang pertama adalah Barong Karamaka atau hutan keramat, yaitu kawasan hutan yang terlarang untuk semua jenis kegiatan, kecuali upacara-upacara adat. Kawasan ini harus steril dari kegiatan penebangan, pengukuran luas, penanaman pohon, pemanfaatan flora dan fauna yang ada di dalamnya, ataupun kunjungan selain pelaksanaan upacara adat. Kawasan barong karamaka ini begitu sakral bagi masyarakat Kajang karena adanya keyakinan bahwa hutan ini adalah tempat tinggal para leluhur orang Kajang. Hal ini diungkapkan secara jelas dalam sebuah pasang, yaitu: “Talakullei nisambei kajua, Iyato’ minjo kaju timboa. Talakullei nitambai nanikurangi borong karamaka. Kasipalli tauwa a’lamung-lamung ri boronga, Nasaba’ se’re wattu la rie’ tau angngakui bate lamunna” (Artinya: Tidak bisa diganti kayunya, itu saja kayu yang tumbuh. Tidak bisa ditambah atau dikurangi hutan keramat itu. Orang dilarang menanam di dalam hutan sebab suatu waktu akan ada orang yang mengakui bekas tanamannya.
Kawasan yang kedua adalah Barong Batasayya atau hutan perbatasan. Hutan ini merupakan hutan yang diperbolehkan diambil kayunya sepanjang persediaan kayu masih ada dan dengan seizin dari Ammatoa selaku pemimpin adat. Jadi keputusan akhir boleh tidaknya masyarakat mengambil kayu di hutan ini tergantung dari Ammatoa. Pun kayu yang ada dalam hutan ini hanya diperbolehkan untuk membangun sarana umum, dan bagi komunitas Ammatoa yang tidak mampu membangun rumah. Selain dari tujuan itu, tidak akan diizinkan.
Namun, tidak semua kayu boleh ditebang. Hanya beberapa jenis kayu saja yang boleh ditebang, yaitu kayu Asa, Nyatoh, dan Pangi. Jumlah kayu yang ditebang pun harus sesuai dengan kebutuhan, sehingga tidak jarang kayu yang ditebang akan dikurangi oleh Ammatoa.
Syarat utama ketika orang ingin menebang pohon adalah orang yang bersangkutan wajib menanam pohon sebagai penggantinya. Kalau pohon itu sudah tumbuh dengan baik, maka penebangan pohon baru dapat dilakukan. Menebang satu jenis pohon, maka orang yang bersangkutan wajib menanam dua pohon yang sejenis di lokasi yang telah ditentukan oleh Ammatoa. Penebangan pohon itu juga hanya boleh dilakukan dengan menggunakan alat tradisional berupa kampak atau parang. Cara mengeluarkan kayu yang sudah ditebang juga harus dengan cara digotong atau dipanggul dan tidak boleh ditarik karena dapat merusak tumbuhan lain yang berada di sekitarnya.
Dan kawasan yang ketiga adalah Borong Luara’ atau hutan rakyat. Hutan ini merupakan hutan yang dapat dikelola oleh masyarakat. Meskipun kebanyakan hutan jenis ini dikuasai oleh rakyat, namun aturan-aturan adat mengenai pengelolaan hutan di kawasan ini tetap masih berlaku. Ammatoa melarang setiap praktek kesewenang-wenangan dalam memanfaatkan sumberdaya yang terdapat dalam hutan rakyat ini.
Agar ketiga kawasan hutan tersebut tetap mampu memerankan fungsinya masing-masing, Ammatoa akan memberikan sangsi kepada siapapun yang melanggar ketentuan yang telah dibuatnya itu. Sangsi yang diberikan tidaklah sama, tergantung di kawasan hutan mana orang yang bersangkutan melakukan pelanggaran. Pelanggaran yang dilakukan di hutan keramat akan mendapatkan sanksi yang paling berat.
Pasang secara eksplisit melarang setiap tindakan yang mengarah pada kemungkinan rusaknya ekosistem hutan, seperti menebang kayu, memburu satwa, atau memungut hasil-hasil hutan. Pasang inilah yang memberikan ketentuan tersebut agar aturan yang ditetapkan berjalan dengan efektif. Konsekuensinya, bagi siapa saja yang melanggar aturan-aturan yang telah ditentukan akan dikenai sanksi yang tegas. Tentang bagaimana usaha agar warga masyarakat menaati aturan pelestarian hutan yang berdasarkan atas pasang, maka di bawah kepemimpinan Ammatoa sebagai Kepala Adat Keammatoaan mengadakan acara abborong (bermusyawarah) yang menetapkan bahwa pelanggaran atas ketentuan pasang yang berhubungan dengan pelestarian hutan dikenakan denda (apabila diketahui pelanggarnya) sebagai berikut:
Pertama, Cappa Ba’bala atau pelanggaran ringan. Cappa Ba’bala diberlakukan terhadap pelanggar yang menebang pohon dari koko atau kebun warga masyarakat adat Ammatoa. Hukumannya berupa denda enam real atau menurut mata uang Indonesia kira-kira setara dengan uang enam ratus ribu rupiah. Selain itu, pelanggar juga wajib memberikan satu gulung kain putih kepada Ammatoa.
Kedua, Tangnga Ba’bala atau pelanggaran sedang. Tangnga ba’bala merupakan sangsi untuk pelanggaran yang dilakukan dalam kawasan hutan perbatasan atau Borong Batasayya. Pengambilan kayu atau rotan atau apa saja dalam kawasan ini tanpa seizin Ammatoa berarti melanggar aturan Tangnga ba’bala. Ketika seseorang diizinkan oleh Ammatoa untuk mengambil sebatang pohon kemudian ternyata mengambil lebih banyak dari yang diizinkan, maka orang tersebut telah melanggar aturan Tangnga ba’bala ini. Denda dari pelanggaran ini  sebesar delapan real atau sebanding dengan delapan ratus ribu rupiah dengan mata uang Indonesia ditambah satu gulung kain putih.
Ketiga, Poko’ Ba’bala atau pelanggaran berat. Poko’ ba’bala diberlakukan kepada seluruh masyarakat yang bernaung di bawah kepemimpinan Ammatoa jika melakukan pelanggaran berat menurut adat. Poko’ ba’bala diberlakukan jika masyarakat adat melakukan pelanggaran di Barong maraka atau hutan keramat dalam bentuk mengambil hasil hutan baik kayu maupun non kayu yang terdapat di dalamnya. Poko’ ba’bala merupakan hukuman terberat dalam konsep aturan adat masyarakat Ammatoa. Masyarakat adat yang melakukan pelanggaran berat dikenai sanksi berupa denda dua belas real, atau dalam mata uang Indonesia setara dengan satu juta dua ratus ribu rupiah, kain putih satu lembar, dan kayu yang diambil dikembalikan ke dalam hutan (Restu dan Sinohadji, 2008).
Di samping sanksi berupa denda, hukuman adat yang sangat mempengaruhi kelestarian hutan adalah sanksi sosial berupa pengucilan. Hukuman ini bagi masyarakat adat kajang lebih menakutkan. Jika masyarakat melanggar Poko’ ba’bala maka Ammatoa tidak akan menghadiri setiap acara atau pesta yang dilangsungkannya. Ketika Ammatoa tidak hadir maka setiap acara atau pesta yang berlangsung dianggap sia-sia. Bagi mereka yang telah melanggarnya, lebih baik dipenjara seumur hidup daripada harus terkena Poko’ ba’bala. Lebih menakutkan lagi karena sanksi pengucilan ini berlaku juga bagi seluruh keluarga sampai tujuh turunan.
Apabila sebuah pelanggaran tidak diketahui siapa pelakunya, maka adat Ammatoa akan melangsungkan upacara attunu panrolik (membakar linggis sampai merah karena panasnya). Mendahului upacara tersebut dipukullah gendang di rumah Ammatoa dengan irama tertentu yang langsung diketahui oleh warga masyarakat Keammatoaan, bahwa mereka dipanggil berkumpul untuk menghadiri upacara attunu panrolik. Kepada setiap warga masyarakat Keammatoaan dipersilakan memegang linggis yang sudah berwarna merah karena panasnya. Bagi orang yang tangannya melepuh ketika memegang linggis tersebut, maka dialah pelakunya. Sedangkan bagi yang bukan pelaku, tidak akan merasakan panasnya linggis tersebut. Akan tetapi pada umumnya pelaku tidak mau menghadiri upacara tersebut, sehingga untuk mengetahui pelakunya (yang mutlak harus dicari), maka diadakan upacara attunu passauk (membakar dupa) (Salle, 2000).
Mendahului upacara tersebut, terlebih disampaikan pengumuman kepada segenap warga selama sebulan berturut-turut, dengan harapan bahwa pelaku, maupun yang mengetahui perbuatan penebangan pohon itu akan datang melapor kepada Ammatoa. Hal itu sangat perlu, karena akibat dari attunu passauk yang sangat berat, yaitu bukan hanya menimpa pelaku, akan tetapi juga kepada keturunannya. Attunu passauk diadakan setelah attunu panrolik gagal menemukan pelaku. Upacara dilakukan oleh Ammatoa bersama pemuka adat di dalam Barong Karamaka. Attunu passauk adalah kegiatan menjatuhkan hukuman “in absentia”. Hukuman ini dipercaya langsung diberikan oleh Turek Akrakna, yang berupa musibah secara beruntun, baik pada pelaku, keluarga, dan keturunannya, serta orang lain yang mengetahui perbuatan itu, namun tidak melaporkannya kepada Ammatoa (Salle, 2000).
Namun, dalam masyarakat Kajang sendiri, pemberlakukan denda dan sanksi bagi pelanggar kelestarian hutan hanyalah sarana saja (bukan tujuan itu sendiri) karena idealitas yang mereka kehendaki sebenarnya adalah terciptanya sebuah tatanan masyarakat yang terbebas dari sanksi apapun. Sanksi dalam konteks ini berarti hanya berfungsi sebagai sarana prevensi agar pelanggaran terhadap kelestarian hutan dalam bentuk apapun tidak akan dilakukan oleh komunitas Ammatoa. Lantas, apa kira-kira rasionalisasi dari pemberlakuan sanksi tersebut?
Bagi masyarakat Kajang, hutan ibarat seorang ibu yang memberikan perlindungan sekaligus harus dilindungi. Perumpamaan ini sebenarnya tidak hanya mengandung makna filosofis saja, tetapi juga berimplikasi pada manfaat praktis terkait dengan kegiatan-kegiatan pelestarian hutan. Terkait dengan hal ini, setidaknya ada dua fungsi utama hutan bagi masyarakat Kajang. Pertama, sebagai fungsi ritual yaitu salah satu mata rantai dari sistem kepercayaan yang memandang hutan sebagai suatu yang sakral. Konsekuensi dari kepercayaan tersebut tergambar pada upacara yang dilakukan dalam hutan, misalnya pelantikan pemimpin adat (Ammatoa), attunu passaung (upacara kutukan bagi pelanggar adat), upacara pelepasan nazar dan upacara angnganro (bermohon kepada Turek Akrakna untuk suatu hajat baik individu maupun kolektif). Kedua, sebagai fungsi ekologis, di mana hutan dipandang sebagai pengatur tata air (appariek bosi, appariek tumbusu), yang menimbulkan adanya hujan dan menyimpan cadangan air (Restu dan Sinohadji, 2008).
Kesimpulan
Penyebab degradasi lingkungan adalah adanya pengeksploitasian sumber­daya alam oleh manusia, baik oleh peme-rintah, perusahaan maupun masyarakat yang mempunyai kepentingan dan akses tersendiri. Dengan demikian terjadi kon-testasi dan konflik diantara mereka. Akibat dari kontestasi tersebut, menimbulkan ketidakmerataan pendapatan ekonomi an-tara masyarakat local dengan perusahaandan pemerintah. Ironisnya hasil dari sum-berdaya tersebut sebagian besar masuk ke Negara Negara maju. Negara maju tinggal membayar, dan Negara kita menghabisi sumberdayanya. Hal tersebut semakin meluas dari sabang sampai merauke, sebab keberhasilan pembangunan dinilai dari pendapatan perkapita. Dampak dari eks-ploitasi tersebut mengakibatkan bencana alam seperti banjir, rusaknya hayati ke-lautan, dan lain-lain. Oleh sebab itu, dalam pengeksploitasian sumberdaya alam, tidak bisa mengabaikan kearifan local, sebab ke-arifan local berfungsi sebagai penyeimbang dan penyelaras lingkungan. Demikian juga halnya dengan pengetahuan local yang selama ini dianggap tidak ilmiah, tidak mempunyai metode, tetapi dalam penera-pannya bisa terbukti keberadaannya dalam meminimalisir bencana sebagai akibat dari degradasi dan fenomena 
Sumber-sumber:
 

 dari : Afthonul Afif, Peneliti di BKPBM
Kredit foto:
Daftar Pustaka
Adhan, S., 2005, “Islam dan Patuntung di Tanah Toa Kajang: Pergulatan Tiada Akhir”, dalam Hikmat Budiman, ed., Hak-Hak Minoritas: Dilema Multikulturalisme di Indonesia, Jakarta: Yayasan Interseksi bekerjasama dengan Tifa Foundation.
Al Rhawali, A., Interaksi Manusia Adat Kajang dengan Lingkungannya, Diakses pada Tanggal 29 Agustus 2008 dari http://alrawali.wordpress.com/berita-daerah/interaksi-manusia-adat-kajang-dengan-lingkungannya/
Azis, M., Pesan Lestari dari Negeri Ammatoa, Diakses pada Tanggal 29 Agustus 2008 dari http://etalasehijau.blogspot.com/pesan-lestari-dari-negeri-ammatoa.html.
Kesederhanaan Kajang dan Amatoa yang Hilang, diakses dari http://www.liputan6.com/progsus/?id=20087
Restu, M., & Emil Sinohadji. Boronga ri Kajang (Hutan di Kajang). Diakses pada Tanggal 29 Agutus 2008 dari  http://www.fkkm.org/PusatData/index.php?action=detail3&page=22&lang=ind
Rossler, M., 1990, “Striving for modesty; Fundamentals of the religion and social organization of the Makassarese Patuntung”, In: Bijdragen tot de Taal-, Land- en Volkenkunde 146 (1990), no: 2/3, Leiden, 289-324. Diakses dari http://www.kitlv-journals.nl/files/pdf/art_BKI_1393.pdf
Salle, K, 2000, “Kebijakan Lingkungan Menurut Pasang: Sebuah Kajian Hukum Lingkungan Adat pada Masyarakat Ammatoa Kecamatan Kajang Kabupaten Daerah Tingkat II Bulukumba”, dalam Jurnal Pascasarjana Universitas hasanuddin Vol. 1 Thn. 2000. Diakses dari  http://www.pascaunhas.net/jurnal_pdf/vol_1_2/kaimud.pdf
Suriani, 2006, “Tanah Laksana Ibu bagi Suku Kajang”, dalam Harian Sore Sinar Harapan Edisi 06 Februari 2006.
Usop, KMA. M. 1985. Pasang ri Kajang:Kajian Sistem Nilai Masyarakat Amma Toa dalam Agama dan Realitas Sosial. Diterbitkan untuk Yayasan Ilmu-ilmu Sosial, Hasanuddin University Press.
Widyasmoro, T.T., 2006, “Kajang, Badui dari Sulawesi”, dalam Majalah Intisari Edisi: No. 511 TH.XLIII Februari 2006. Diakses dari http://www.intisari-online.com


KEARIFAN LOKAL, PENGETAHUAN LOKAL DAN DEGRADASI LINGKUNGAN
Erwan Baharudin
Fakultas Ilmu Komunikasi – Universitas Esa Unggul, Jakarta


Daftar Pustaka
Agrawal, A, “Indegeneous and Scientific
Knowledge: Some Critical
Comments.Indigeneous
Knowledge      and     Development Monitor”, 3 (3) : 3-6. 1995.
Amalamien, “Penelitian Ilmiah Berbasis Pengetahuan Lokal”, 2008.
Berbagai Sumber
Bryant, Raymond L, Sinead Bailey, “Third World Political Ecology”, Routledge, New York, 1997.
Emil Salim, Pembangunan Berwawasan Lingkungan”, LP3ES, Jakarta, 1993.
Hans J. Daeng, “Manusia, Kebudayaan dan Lingkungan  Tinjauan  Antropologis” ,Pustaka   Pelajar, Yogyakarta, 2008.
Hari Poerwanto, “Kebudayaan dan ling­kungan dalam Perspektif Antro-pologi”, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2008.
Herbert Marcuse, “One Dimensional Man: Studies in Ideology of Advanced Industrial Society”, Routledge, New York, 2002.
Johan Iskandar, “Mitigasi Bencana Lewat Kearifan Lokal”, Kompas, 6 Oktober 2009.
Lester R, Brown, “Tantangan Masalah Lingkungan Hidup Bagaimana Membangun Masyarakat Manusia Berdasarkan Kesinambungan Ling­kungan Hidup yang Sehat”, Yayasan Obor Indonesia, Jakarta, 1992.
Lowe, Celia, “Wild Profusion: Biodiversity Conservation in an Indonesian Archipelago”, Princeton University Press. Sub-topik The Reason for Reason hal: 19-23, 2006.
Nygren, A, “Local Knowledge in the Environment-Development Discourse: From Dicotomies to Situated Knowledge”, Critique of Anthropology 19 (3): 267-288, 1999.
Watts, M, Chapter 16. Political Ecology, in Eric Sheppard and Trevor J. Barnes [eds.], A Companion to Economic Geography. Oxford: Blackwell Publisher Ltd. sub-topik tentang knowledge, power, practice halaman 263-265, 2003.
 


Comments

Popular posts from this blog

Visi dan Misi serta Schedule PW IPM Sulsel Periode 2014 - 2016

Orang yang dicintai Allah SWT

... KISAH MENGHARUKAN, KETULUSAN CINTA SEORANG SUAMI ...