Idealkah Mahasiswa Sekarang


Idealkah Mahasiswa Sekarang ?

Mahasiswa merupakan pressure group yang terbilang ampuh. Bukti kekuatan mahasiswa sebagai kelompok penekan tercatat dalam sejrah emas reformasi. Tidak terbayangkan, Soeharto yang menjadi sosok sentral Orde baru selama 30 tahun mampu ditumbangkan melalui aksi massif hanya dalam tempo hitungan hari. Rekam jejak kiprah mahasiswa yang mengubah wajah perpolitikan Indonesia dan kebijakan pemerintah tergambarkan dari period eke periode. Ada gerakan mahasiswa 1966 dengan berbagai kesatuan aksinya yang mengakhiri masa kpresidenan soekarno. Ada gerakan Malari di tahun 1974 yang menolak dominasi Jepang. Ada pula angkatan 1998, yang para pentolannya kini mengisi posisi-posisi strategis di panggung politik dan pemerintahan. Jauh sebelum itu, barisan kelompok mahasiswa juga getol berjuang selama masa pergerakan kemerdekaan Indonesia.
Bukti kepekaan dan keberpihakan mahasiswa terhadap beragam persoalan masyarakat dan bangsanya terdokumentasi melalui aksi-aksi sporadic yang sigap tanggap merespons isu-isu krusial di masyarakat. Sehingga, layak jika mahasiswa dijuluki sebagai agen of change. Meski memiliki daya dobrak, namun aksi-aksi itu sebatas moral force yang sejatinya tidak berorientasi pada kekuasaan. Melalui gerakan parlemen jalanan, suara-suara kritis mahasiswa sering terdengar lebih vocal disbanding mereka yang secara formal diberi amanah sebagai penyeimbang kekuasaan. Tak jarang, mahasiswa begitu tulus dan rela pasang badan. Militansi mahasiswa terkadang justru membuat mereka abai terhadap keselamatan jiwanya sendiri. Tapi begitulah cara mereka,anak muda idealis ini. Meski nyawa taruhannya.
Intensitas demontrasi mahasiswa yang hamper setiap hari tersungguhkan di layar kaca, membuat mahasiswa identik dengan demonstrasi. Hanya saja, gambaran tentang aksi demonstrasi dengan tujuan mulia ternyata tidak selalu ditemukan. Entah sudah beberapa kali kita mendengar aksi-aksi demonstrasi yang sekedar dilakukan agar bisa masu TV. Demonstrasi semu ini bukan semata-mata untuk memperjuangkan  kemasan isu yang diusungkan tapi demi menarik perhatian wartawan TV. Kisah-kisah demonstran seleb seperti ini kerap menjadi bagian dari diskusi yang mempertanyakan aksi-aksi mahasiswa yang dinilai biasa dan jauh dari substansi masalah. Namun, mereka membela diri dengan mengatakan, jika aksi demonstrasinya tidak diliput di media,terutama televise, maka aksinya kurang seru. Bagi mereka, media menjadi pelantara yang member efek tekanan psikologis terhadap pihak-pihak yang menjadi sasaran aksinya. Para demonstran seleb ini bahkan tidak segan-segan bersikap anarkis dan siap bentrok agar unsure dramatiknya terpenuhi.
Sosok mahasiwa di layar kaca memang tidak terlalu sedap dipandang. Sulit dibayangkan, mahasiswa, mahasiswa sebagai generasi penerus bangsa kemudian tercitrakan tak lebih pecundang yang kehilangan gelanggang. Pertarungan mahasiswa diranah akademik nyarois tetupi oleh berbagai tindakan mereka sendiri yang membuat orang lupa tentang posisi mahasiswa yang sedemikian strategis dalam ikut menentukan nasib bangsa in kedepan. Mau dibawa kemana bangsa dan negara ini, bila mahasiswa lebih sibuk mengasah badik,parang,samurai,tombak,sangkur,dan busur  daripada mengasah mata pena mereka untuk menelorkan karya-karya agung? Mengapa mahasiswa tidak memilh melakukan eksperimen untuk menciptakan temuam-temuan baru, malah lebih tertarik membuat bom Molotov dan senjata rakitan? Tentu kita tidaka dapat mengharapkan tumbuhnya tradisi keilmuan di kalangan oknum mahasiswa yang berprilaku seperti ini. Bahkan, maaf, mereka lebih tampak preman sebagai kelompok preman dan criminal daripada sosok intelektual muda dengan pikiran-pikiran yang bernas.
Potret mahasiswa di layar kaca memang tidak sementereng pencapaian prestasi yang sudah mereka ukir diberbagai ajang. Stasiun televise terkesan belum member ruang untuk mahasiswa menunjukkan kiprahnya. Mahasiswa lebih kerap ditampilkan sebagai pendemo, yang kemudian menimbulkan stereotype buruk terhadap mereka. Lebih dari itu, mereka juga kerap diperlakukan tak ubahnya asesoris dan property sebuah pertunjukan. Lihat saja, mulai dari acara talkshow, lawakan, hingga konser music,sering menmpilkan mahasiswa sebagai penontonnya. Kelompok-kelompok mahasiswa itu,lengkap dengan jas almamater kebanggaannya,hanya jadi pajangan hidup untuk meriuhkan suasana studio. Mereka hadir sebagai penggembira dalam acara-acara yang remeh-remeh atau pada acara-acara yang semestinya mereka bisa memainkan peran lebih. Bukan sekedar duduk manis, bertepuk tangan, dan tertawa sebagai reaksi atas apa yanga terjadi di panggung utama.
Pada acara-acara debat misalnya, mahasiswa sering tidak diperlakukan sebagi figure sentral. Mengutip acara “democrazy”(metro TV),mahasiswa tak lebih hanya ditempatkan di fraksi balkon. Pada acara “ Hitam Putih”(Trans7) yang dipandu oleh Deddy Corbuzier, penonton dari kalangan mahasiswa benar-banar hanya sebgai figuran yang terkagum-kagum atau ketawa ketiwi. Dalam suatu tanyang, sekelompok mahasiswa yang menjadi penonton acara ini dihipnotis, lantas melakukan hal-hal konyol dan terlihat bodoh ketika berada dibawah kendali pemandu acara tersebut. Mahasiswa tampak tak berdaya dihadapan stasiun TV, mereka mau saja di mobilisasi.    

Comments

Popular posts from this blog

Visi dan Misi serta Schedule PW IPM Sulsel Periode 2014 - 2016

Orang yang dicintai Allah SWT

... KISAH MENGHARUKAN, KETULUSAN CINTA SEORANG SUAMI ...