Mempertajam Pemahaman Pelajar Muhammadiyah terhadap Ideologi Muhammadiyah
“Mempertajam
Pemahaman Pelajar Muhammadiyah terhadap Ideologi Muhammadiyah”
Oleh : Saparuddin Sanusi
Muhammadiyah dalam
perjalanan sejarahnya selama satu abad telah menunjukkan kemampuannya dalam
menghadapi perubahan social tanpa kehilangan identitasnya sebagai gerakan
dakwah. Sekurang-kurangnya adal lima perubahan social dan proses
pembangunan bangsa yang dilalui
Muhammadiyah dengan relative mulus, yaitu masa perjuangan melawan kolonialisme,
masa awal kemerdekaan, era Orde lama, era Orde Baru, dan transisi ke era
Reformasi yang sekarang ini.
Dalam menghadapi perubahan social
itu, Muhammadiyah tidak hanya mampu mempertahankan keberadaannya sebagai
gerakan dakwah, tetapi justru dari waktu ke waktu menunjukkan perkembangan yang
berarti. Cabang dan ranting muhammadiyah terus tumbuh berkembang di seluruh
Indonesia. Secara kuantitatif amal usaha Muhammadiyah juga terus
berkembang,seperti semakin bertambahnya jumalah panti asuhan, rumah sakit, dan
terutama pendidikan sejak taman kanak-kanak samapai perguruan tinggi[1].
Akan tetapi melihat dan menilai Muhammadiyah dewasa ini hanya dampak
pemikirannya yang berupa organisasi sebagai alat dakwah, lembaga pendidikan,
rumah sakit dan panti asuhan, tidak akan menemukan sesuatu yang istimewa/
spesifik karena apa yang dilakukan Muhammadiyah yang pada awal perkembangannya
dulu merupakan symbol modernitas dan kemajuan Muhammadiyah yang sekarang sudah
tidak demikian lagi. Bahkan banyak dari lembaga – lembaga itu yang lebih
inovatif , lebih bagus dan lebih berkualitas dibandingkan dengan lembaga amal
usaha Muhammadiyah. Oleh karena itu untuk melihat Muhammadiyah yang sebenarnya
harus memahami pemikirannya.
Muhammadiyah sejak lahirnya dikenal sebagai gerakan pemabaharuan Islam
dengan jargon-jargon ijtihad dan tajdid yang direalisasikan dalam bidang-bidang
social keagamaan. Karena begitu luas cakupan dakwahnya yang didasari semangat
pembaharuan, maka Muhammadiyah memiliki tiga dataran, yaitu sebagai gerakan
pembaharuan, agen pembaharuan, dan sebagai kekuatan politik.[2]
Sebagai sebuah gerakan pembaharuan
Islam yang tumbuh di awal abad ke-20, landasan pemikirannnya telah dibangun
oleh pendirinya K.H.A. Dahlan, yaitu pemurnian (purifikasi) Islam dengan
kembali kepada Al Qur’an dan As Sunnah dan modernism (memajukan kehidupan umat
sesuai tuntutan zaman) karena yang dicita-citakan beliau adalah Islam yang
berkemajuan. Dalam perjalanan sejarah yang panjang perkembangan Muhammadiyah
menurut Kuntowijoyo secara garis besar adalah terbagi atas dua periode;
pertama, periode awal perkembangan yang merupakan dinamika kulitatif yaitu fase
pembentukan doktrin yang sarat dengan kegiatan ijtihad dan tajdid; kedua,
periode berikutnya yang berjalan sampai sekarang yang merupakan dinamika
kuantitatif yaitu fase pelaksanaan doktrin atau tahap mewujudkan cita-cita
awalnya, sehingga seakan-akan tugas sejarah Muhammadiyah dibidang tajdid sudah
selesai.[3]
Pemetaan periode sejarah versi Kuntowijoyo tersebut tentunya menantang
Muhammadiyah apakah benar kedua dan seterusnya tidak lagi diperlukan tajdid.
Tentu tidak demikian karena perubahan social terus terjadi setiap kurun waktu
dengan permasalahan yang berbeda, sehingga memerlukan ijtihad dan tajdid terus
menerus sesuaia permasalahan dan tantangan yang hadapi. Karena sifatnya sebagai
implementasi doktrin maka ijtihad yang
dilakukan masih tetap dalam rangka pengembangan prinsip-prinsip pembaharuan
yang sudah dibangun oleh pendirinya.
Lahirnya banyak konsep atau keputusan
resmi Perserikatan yang dimaksudkan sebagai pegangan dalam bermuhammadiyah
seperti,Mukadimah Anggaran Dasar Muhammadiyah (konsep awal tahun 1945 dan baru
disyahkan oleh Sidang Tanwir muhammadiyah tahun 1951), Kepribadian Muhammadiyah
(1962), Matan Keyakinan dan Cita-cita Hidup Muhammadiyah (1969), dan beberapa
Khittah Perjuangan Muhammadiyah,membuktikan adanya ijtihad dan tajdid dalam
mengimplementasikan doktrin awal pendiriannya.
Nampak esensi keputusan-keputusan resmi tersebut bersifat ideologis. Hal ini tentu
terkait dengan perubahan social yang dihadapi pada waktu itu. Oleh karenanya
periode ini disebut periodesasi Muhammadiyah.
Sejak awal – pertengahan era orde Baru
(1970-1985) nyaristidak ada produk-produk pemikiran yang signifikan kecuali
pedoman-pedoman praktis dan penyesuaian Anggaran Dasar dengan Kebijakan politik
Orde Baru untuk membangun harmoni dengan pemerintah. Menurut Din Syamsuddin di
era orde baru Muhammadiyah terkesan sejuk sebagai payung bagi orang-orang yang
suka beramal. Namun di era itu pula (tahun 80-90-an) ketika bermunculan
pemikiran-pemikiran baru berkaitan dengan masalah Islam hubungannya dengan
perubahan social, Muhammadiyah menuai banyak kritik baik dari dalam maupun dari
luar. Hamper semua kritik ditujukan pada kemandekan tajdid Muhammadiyah.
Tahun-tahun berikutnya bermunculan pemikiran baik resmi maupun tidak resmi dari
fungsionaris Muhammadiyah yang mengarah ke transformasi pemikiran keagamaan.
Sebagai contoh,kepusan Sidang Tanwir Muhammadiyah tahun 1992 tentang
rekonstruksi pandangan hidup Muhammadiyah, merupakan transformasi pemikiran yang cukup fundamental karena
menyangkut ideologi.[4]
Mukhtamar Muhammadiyah ke 43 tahun 2005 di Aceh dapat disebut Mujktamar
transformative karena menyiapkan wadah resmi bagi pengembangan pemikiran Islam yakni dengan diputuskannya perubahan “majelis
Tarjih” menjadi “majelis tarjih dan Pengembangan Pemikiran Islam”. Berbagai
kegiatan digelar untuk mengembangkan pemikiran keislaman lewat seminar, maupun
kelompok kajian baik tingkat daerah
maupun tingkat Pusat. Oleh karena itu periode ini dapat disebut masa
transformasi pemikiran keagamaan Muhammadiyah.
Dengan berkembangnya pemikiran
transformasi yang terbuka, fasilitatif bagi perubahan dan bersifat subtansial
merupakan sebuah dinamika pemikiran yang relevan untuk merespon perubahan
social yang terjadi pada masa transisi ke era reformasi. Nampaknya transformative
pemikiran ini tidak berjalan mulus bahkan cenderung berhenti setelah Muktamar
Muhammadiyah ke 45 tahun 2005 di Malang yang ditandai dengan terealisasikannya
tokoh-tokoh pemikir Transformatif karena dianggap liberal. Yang mencolok
adal;ah diubahnya kembali nama majelis Tarjih dari “majelis Tarjih dan
Pengembangan Pemikiran Islam” menjadi “Majelis Tarjih dan Tajdid”. Seakan –
akan Muhammadiyah tabu terhadap istilah pengembangan pemikiran. Sejak itu
nuansa tarik menarik antara yang berorientasi pemurnian dan yang transformasi
Nampak ke permukaan dengan seringnya muncul lewat media resmi Muhammadiyah.
Semuanya tentu bermaksud untuk memelihara identitas Muhammadiyah. Namun kalau
kondisi semacam itu berlanjut boleh jadi kemandekan tajdid akan benar-benar terjadi.
Fenomena lain yang cukup menarik adalah
banyak kader-kader Muhammadiyah yang tertarik pada ideologi lain dari gerakan
islam transnasional seperti Ikhwanul Muslimin dan Hizbut Tahrir yang tidak
sejalan dengan Muhammadiyah sehingga melemahkan komitmen terhadap perjuangan
Muhammadiyah. Adanya eksodus beberapa kader Muhammadiyah ke partai lain yang
berideologi lain makin membuktikan adanya kekaburan ideologis di kalangan
Muhammadiyah. Hal ini tentu sangat memprihatinkan sehingga mendorong majelis
tanwir tahun 2007 memutuskan program revitalisasi ideologis bagi pengembangan
pemikiran Muhammadiyah yang lebih dinamis dan progresif.
Banyaknya keputusan resmi menyangkut
formulasi dan sistematisasi ideology maupun proses transformasi pemikiran
tersebut menggambarkan adanya pengembangan pemikiran keagamaandan social dalam
Muhammadiyah. Dengan dinamika pemikiran dan sejak awal berdirinya sampai
memasuki era reformasi, berbagai masalah dapat di atasi dan telah mengantarkan
Muhammadiyah seperti sekarang ini. hal ini tidak diragukan bahwa dalam dinamika
pemikiran tersebut mengandung pemikiran-pemikiran cerdas Muhammadiyah yakni,
pemikiran yang didasarkan atas wawasan yang luas dan analisis yang tepat
terhadap masalah yang dihadapi.
Perkembangan pemikiran keagamaan tidak
terlepas dariperubahan social yang dihadapi, bahkan mencerminkan tipe struktur
social yang dihadapi, bahkan mencerminkan tipe struktur social dimana pemikiran-pemikiran itu muncul.[5] Oleh
karena itu menarik untuk diteliti bagaimana proses perkembangan pemikiran
Muhammadiyah tersebut. Penelitian ini menggunakan pendekatan sejarah, maka
aspek kronologis peristiwa, periodisasi dak karakterisasi menjadi keniscayaan.
Dengan pendekatan sejarah dimungkinkan dinamika pemikiran yang terjadi sejak
awal berdirinya sampai dewasa ini dapat dirajut benang merahnya, sehingga dapat
diperoleh pemahaman yang komprehensif tentang pola pemikiran Muhammadiyah.
Muktamar Muhammadiyah ke-46 tahun 2010
yang bertepatan dengan satu abad Muhammadiyah merupakan momentum kebangkitan
kedua setelah satu abad yang lalu Muhammadiyah berkhidmat untuk kemajuan bangsa
dan ummat. Demi keberlangsungan peran Muhammadiyah sebagai gerakan dakwah dan
tajdid untuk mencerahkan peradaban dan memajukan bangsa, perlu refleksi ejarah
dan merajut kembali pikiran – pikiran cerdas yang pernah diukir oleh generasi
pendahulu, dengan parameter manhaj gerakan yang telah dibangun fondasinya oleh
K.H.A.Dahlan.
[2] Alfian, Muhammadiyah, The Political behavior of muslim Modernist
Organization Under The dutch Colonialism (Yogyakarta : Gajamadha Press,
1969),hlm 178
[3]Kuntowijoyo, Paradigma Islam Interpretasi Untuk Aksi (Bandung;
Mizan,1993),hlm. 192-193.
[4] Wacana rekonstruksi pemikiran Muhammadiyah mulai bergema pada akhir
tahun 80an, yamg kemudian secara formal diputuskan perlunya rekonstruksi
pandangan hidup Muhammadiyah dengan disahkannya rancangan konsep “Pandangan Hidup Muhammadiyah” melalui
sidang Tanwir Muhammadiyah tahun 1992. Periksa Haedar Nashir,ed.,Dialog Pemikiran Islam dalam Muhammadiyah
(Yogyakarta : BPK. PP Muhammadiyah,1992), hlm.135 dan PP muhammadiyah, Alamanak Muhammadiyah tahun 1416 H
(Yogyakarta:PPM majelis Pustaka,1995), hlm.40-41.
[5] Sartono Kartodirdjo, Pendekatan Ilmu Sosial dalam Metodologi
Sejarah (Jakarta : Gramedia Pustaka Utama,1992),hlm. 181-182
Comments
Post a Comment