Negosiasi yang Memalukan: Ketika Delegasi Kita Pulang dengan Tarif, Bukan Kesepakatan
Kunjungan delegasi Indonesia ke Washington baru-baru ini meninggalkan jejak pahit. Alih-alih membawa pulang kabar baik, kita justru ‘dihadiahi’ kenaikan tarif ekspor dari 32% menjadi 47%. Ini bukan hasil perundingan, ini vonis.
Bandingkan dengan Tiongkok. Dalam perang dagang yang sempat panas, Amerika akhirnya mengedipkan mata terlebih dahulu. Tapi kepada Indonesia? Bukan kedipan, yang ada justru sorot tajam penuh tekanan. Dalam istilah diplomatik, ini bukan negosiasi—ini eksekusi.
Delegasi kita datang dengan sopan, membawa goodwill, statistik, presentasi, dan semangat kerja sama. Tapi di ruang itu, semua itu bukan kekuatan. Justru jadi tanda kelemahan. Kita duduk sebagai mitra, tapi diperlakukan sebagai pihak yang harus tunduk.
Tragisnya, kita datang tanpa persiapan strategi. Tidak ada pemetaan kekuatan domestik AS. Tidak tahu siapa yang harus diajak bicara. Tidak ada simulasi tekanan. Tidak ada intelijen ekonomi. Bahkan, tidak terlihat upaya membaca taktik lawan—padahal Trump sendiri sudah lama membuka kartunya lewat The Art of the Deal. Kita datang bukan untuk menang, tapi untuk ‘menyerah dengan sopan’.
Lebih jauh lagi, publik perlu tahu: Apa sebenarnya yang Amerika inginkan dari Indonesia? Apakah kita ditekan untuk:
• Keluar dari BRICS?
• Mengikuti kebijakan luar negeri AS terhadap Palestina?
• Menghapus UU Minerba dan aturan DHE?
• Membuka keran impor dan menghapus seluruh hambatan non-tarif?
• Membiarkan BI pasrah di pasar tanpa intervensi?
• Menjauh dari investasi strategis Tiongkok?
Comments
Post a Comment