Trump, Iran, dan Putaran Konflik yang Belum Usai

Beberapa hari terakhir, ramai permintaan untuk mengulas perkembangan terbaru di Timur Tengah, khususnya ketegangan antara Amerika Serikat, Iran, dan Israel. Namun, sejatinya skenario konflik ini bukanlah hal baru. Ini hanyalah satu lagi bab dalam siklus panjang aksi-reaksi yang sudah berlangsung bertahun-tahun. 

Selagi belum ada serangan gabungan yang terkoordinasi—udara, laut, darat, dan amfibia—dari pihak Amerika Serikat, dinamika konfliknya pada dasarnya masih berada dalam pola yang berulang: Israel atau Amerika melancarkan serangan terhadap fasilitas strategis Iran; Iran membalas dengan serangan terhadap kepentingan Amerika atau Israel; lalu, Amerika merespons kembali. Dan siklus ini terus berputar. 

Serangan terbaru di bawah kepemimpinan Donald Trump, meski oleh sebagian analis dilihat sebagai deklarasi perang terselubung, sesungguhnya dilakukan dengan kalkulasi yang sangat hati-hati. Targetnya “hanya” tiga infrastruktur nuklir yang menurut klaim Iran, telah lama dikosongkan. Tidak ada invasi darat, tidak ada serangan besar-besaran, dan tidak ada upaya untuk melumpuhkan kepemimpinan politik atau militer Iran secara langsung. Trump bahkan dengan cepat mendeklarasikan misi tersebut sebagai "sukses" dan mengajak kembali kepada “perdamaian”. 

Tentu saja, asumsi bahwa Iran akan langsung bersedia berunding setelah menerima serangan adalah pendekatan yang naif, bahkan kontraproduktif. Namun pesan Trump cukup jelas: ia ingin menunjukkan bahwa dirinya bukan hanya piawai berbicara, tapi juga mampu bertindak—sekaligus mengirim sinyal tegas kepada Rusia, China, dan tentu saja, para pemilih domestik Amerika.

Sementara itu, Israel—yang berkepentingan besar menyeret Amerika lebih jauh ke dalam konflik dengan Iran—mungkin merasa puas. Tapi mereka tentu menginginkan lebih dari sekadar serangan terbatas. 

Lalu, mengapa Trump tidak melanjutkan dengan serangan yang lebih masif?
Jawabannya: belum ada konsensus internal di Amerika Serikat untuk menggulingkan pemerintahan Iran secara total. Bahkan tokoh-tokoh yang dekat dengan kubu Trump sendiri, seperti Steve Bannon—yang dijuluki sebagai “godfather” dari gerakan MAGA—justru menolak gagasan perang skala penuh. Ini memperlihatkan bahwa bahkan dalam lingkaran terdalam kekuasaan sekalipun, suara-suara perlawanan terhadap perang tetap kuat. 

Namun, andai Iran merespons dengan menyerang pangkalan militer Amerika di Timur Tengah, maka jalan menuju eskalasi terbuka lebar. Trump sudah melemparkan peringatan, dan itu bisa saja menjadi pembenaran untuk serangan yang jauh lebih besar. 

Pada titik ini, respons Iran terhadap serangan Israel menjadi penentu. Sejauh ini, serangan balasan terhadap Israel bisa dianggap rasional—sebagai bentuk “strategic restraint”—tanpa menyeret langsung Amerika ke medan perang terbuka. 

Apa yang akan benar-benar mengubah lanskap konflik ini?
Ada empat skenario: (1) jika Ayatollah terbunuh; (2) jika Iran menyerang pangkalan militer Amerika; (3) jika Amerika memulai perang darat; atau (4) jika Israel kembali melancarkan provokasi besar. 

Tanpa kejadian-kejadian tersebut, konflik ini akan tetap berjalan di jalurnya—panas, tapi terkendali. Ulasan panjang sekalipun tidak banyak mengubah fakta bahwa arah dan skala konflik ini akan ditentukan oleh tiga aktor utama: Donald Trump, Ayatollah Ali Khamenei, dan Benjamin Netanyahu.
“Bagaimana kita tahu semua ini? Apakah kita CIA, Mossad, atau pernah duduk di ruang perang Iran?” 

Bukan. Tapi studi Hubungan Internasional (IR) mengajarkan kita satu hal penting: memahami pola, aktor, dan kepentingan yang bermain. Ya, memang teori. Tapi justru dari teori lah kita bisa membaca dan menakar arah realitas.

Comments

Popular posts from this blog

Visi dan Misi serta Schedule PW IPM Sulsel Periode 2014 - 2016

QRIS vs Visa/MasterCard: Asserting Indonesia’s Sovereignty in the National Payment System

Happy Mother's Day