Kebutuhan VS Keinginan !!!
Kamis, 28 Agustus 2014
Kebutuhan
VS Keinginan !!!
Voluntary simplicy…
kesederhanaan sukarela! Saya penasaran dan ketika googling saya mendapati
istilah ini diperdebatkan di antara penulis
topic terkait. Ada yang menerjemahkannya sebagai belajar hidup miskin (learning to live poor), yang disanggah
penulis lainnya, bahwa untuk hidup sederhana tak harus memiskinkan diri. Ada
pula yang mengartikan sebagai berhenti memenuhi
keinginan dan membatasi hanya pada kebutuhan (stop spending on wants and limit spending only to needs).
Ada
pula yang tidak setuju dengan kedua-duanya, tak harus miskin dan menyadera
keinginan, tetapi memilih hidup dengan mengoptimalkan apa yang dimiliki dan
memilih gaya hidup yang sesuai dengan diri kita, bukan denga style orang lain karena one doesn’t fit for all.
Dalam
kehidupan kita seringkali dihadapkan pada dilemma antara kebutuhan dan
keinginan. Ketika orang tua yang memiliki anak merengek untuk membeli sesuatu,
kita cenderung mengabulkan permintaannya sebagai ekspresi saying tanpa
mempertimbangkan apakah barang tersebut dibutuhkannya atau sekedar
diinginkannya. Padahal rengekan bisa jadi sebuah bentuk kemanjaan anak terhadap
orang tuanya. Tapi, kita merasa bersalahjika tak memenuhi kebutuhannya,
sehimgga anak belajar bahwa semua keinginannya harus terpenuhi.
Seorang
isrti pegawai negeri mati – matian menghamba kepada istri bos suaminya, demi
mendapatkan jabatan bagi suaminya. Dia bukan pengangguran, suaminya pun tak
sedang non-job. Suami-isteri ini begituterobsesi dengan jabatan tinggi,
sehingga apapun dilakukan demi meraih keinginan termasuk mengorbankan harga
dirinya. Ketika seseorang yang lain menanyakan alasannya, ia berujar : “tapi
kan lain kalau punya mobil dinas, rasanya gimana gitu!” sungguh memiriskan,
kebutuhan tersubordinasi oleh keinginannya!
Kita
juga cenderung menjadi “manusia penumpuk” karena barang ditambah terus, tapi
selalu merasa tak cukup. Ketika ada tawaran diskon di mal-mal, kita begitu
sulit untuk tak meliriknya, tergoda oleh diskon yang ditawarkan, kemudian
membelinya. Padahal barang – barang tersebut tak kita butuhkan. Suatu hari
seorang kawan mengeluh karena ia pusing memilih baju apa yang akania pakai
untuk suatu acara. Saya tertegun dengan kebingungannya karena saya tahu, ia
bukan orang yang tak punya atau kekurangan baju, ia punya lebih dari satu
lemari denga berbagai jenis dan model yang ip to date. Keinginannya (untuk
selalu berbelanja) terkalahkan oleh kebutuhannya.
Di
antara kawan dekat kita selalu saling memperingatkan setiap kali ada yang mau shopping
untuk “keinginan” ketimbang “kebutuhan” dengan teguran : “Ingat kayu bakar!”
kita membuat asumsi sendiri sendiri bahwa berbelanja konsumtif nantinya akan
menjadi kayu bakar kita dikemudian hari. Jadilah, setiap ada godaan belanja,
teman-teman selalu menimbang-nimbang, apakah barang tersebut dibutuhkan atau
diinginkan. Kompetisinya justru pada siapa yang dapat bertahan untuk tidak
belanja atau belanja paling sedikit ketimbang sebaliknya. Hasilnya, cukup
manjur karena godaan belanja lebih sering “dikalahkan” oleh nafsu “keinginan”.
Dalam
kehidupan, voluntary simplicity tak sekedar bijak menggunbakan uang, sehingga
sehebat apapun godaan iklan, kita takkan terpengaruh jika memang apa yang
diiklankan tak kita butuhkan dan tak menjadi korban kapitalisme. Voluntary
simplicity merupakan pilihan gaya hidup yang cocok dengan diri kita berdasarkan
pilihan sendiri. Kita menjadi pengontrol bagi diri kita sebagai salah satu
alternative menghindar dari keserakahan agar kita tidak mudah menjadi bagian
dari, misalnya, manusia 28 miliar, 66 miliar dan 95 miliar karena keinginan
terkalahkan oleh kebutuhan. Don’t you
think so?
Comments
Post a Comment